Rabu, 27 Januari 2016

Okatsu Nyinom

Kehidupan masyarakat kampung  tanpa pernah disadari oleh banyak peneliti ternyata menyimpan aktivitas-aktivitas unik yang telah menjadi tradisi. Salah satunya yaitu Sinoman. Sinoman yang memiliki pengertian sing para nom-noman atau para pemuda yang memiliki tujuan kebersamaan dan kegotong-royongan membantu sesama.Sedangkan dalam kamus Jawa atau “Bausastro Jawi”, karangan WJS Poerwadarminta, kata “Sinom”, artinya: pucuk daun, daun asam muda, bentuk rumah limas yang tinggi dan lancip, nama tambang mocopat, dan nama bentuk keris. Tetapi, jika kata Sinom mendapat tambahan akhiran “an”, menjadi “Sinoman”, maka maknanya menjadi: anak muda yang menjadi peladen di kampung saat acara hajatan, peladen pesta atau perhelatan, tolong menolong saat mendirikan rumah, kerukunan atau gotong-royong.Tetapi di balik semua makna itu, terkandung suatu potret budaya yang  amat luhur dan terpuji. Sebab, kegiatan sinoman itu adalah bekerjasama, bergotong-royong yang dilakukan secara sukarela untuk kepentingan orang lain dan bersifat komunal.
       Istilah sinoman  muncul pertama kali abad 14  di daerah pesisir utara dengan pembatasan daerah dari Tuban sampai dengan Pasuruan.Kemudian tradisi ini mulai tumbuh di setiap kampung di surabaya dengan memiliki kegiatan membantu warga yang tertimpa musibah seperti kematian ataupun warga yang memiliki hajatan dengan menjadi peladen atau pelayan dan sekaligus meminjamkan alat-alatnya seperti keranda jenazah, gelas, piring, kursi, meja, tenda dan sebagainya. Kegiatan lain Sinoman adalah penjagaan keamanan kampung atau pos ronda, acara keagamaan, peringatan hari kemerdekaan Indonesia, kursus-kursus peningkatan kapasitas warga kampung di Surabaya.
     Wujud dari kegiatan sinoman ini adalah bentuk kegotongroyongan sosial. Tujuannya untuk membina dan meningkatkan kerukunan. Semboyannya adalah: “Rukun Anggawe Santoso” yang berarti rukun untuk menumbuhkan kesentosaan. Kita bisa kuat kalau kita rukun. Sebaliknya, bangsa yang jiwanya kuat dapat membangun kerukunan.Dalam bahasa Jawa atau Sansekerta, kuat karena rukun dan rukun karena kuat,  disebut: “Dharma Eva, Hato Hanti”. Kuat karena bersatu dan bersatu karena kuat. Jadi, motto “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, adalah sebuah kenyataan.Dan semua aspek kerukanan,persatuan dan kegotong-royongan telah terwakili dengan adanya perkumpulan sinoman tersebut.
Penggeraknya Anak Muda
      Sesuai dengan asal-muasal kata “Sinoman” adalah kumpulan anak muda yang suka bergotongroyong, maka di sini kegiatan amal dan sosial harus diutamakan. Artinya, kegiatan sinoman, harus bertujuan untuk membantu sesama dan demi kepentingan bersama. Kecuali itu, kegiatan sinoman harus mampu menghadapi tantangan zaman yang serba komersial dan bernuansa bisnis.
   Berdasar catatan sejarah yang ada, sinoman pada awalnya memang sekedar wadah untuk menampung keinginan sekumpulan anak muda. Mereka ini ingin memperoleh pengakuan sebagai insan yang dipercaya dalam bidang sosial. Nah, karena kegiatan gotong-royong merupakan panggilan hati nurani, maka hal ini tidak sulit untuk diwujudkan. Walaupun demikian, perlu ada pendorong yang mampu menjadi pelopor sebagai penggerak.Jelas di sini, sinoman sebagai kegiatan anak muda, maka motor penggeraknya pun harus para pemuda. Sudah menjadi hukum alam, bahwa kaum muda merupakan tulang punggung penggerak kegiatan dalam masyarakat. Tidak hanya di bidang sosial dan rumahtangga, tetapi lebih jauh lagi, yakni sebagai patriot pembela bangsa dan negara.
     Kembali kepada kegiatan sinoman pada tahun 1930-an saja, kegiatan sinoman sudah tertata rapi. Mempunyai pengurus tetap dan banyak inventaris. Barang-barang milik sinoman itu diperoleh dari sumbangan dan bantuan warga secara sukarela, maupun dibeli dengan uang kas.Jadi dalam hal ini dapat dipahami bahwa sumber pendanaan organisasi ini adalah murni dari iuran sukarela para anggotanya.
     Sinoman memiliki posisi sentral dalam kehidupan masyarakat kampung .Seorang kepala sinoman atau pemimpin sinoman merupakan jabatan yang lebih elite dan prestisius bila dibandingkan dengan kepala kampong dalam pandangan masyarakat .Sehingga memperoleh jabatan sebagai kepala sinoman merupakan suatu kebanggaan tersindiri meskipun dalam menjalankan kewajiban tersebut tidak digaji dan bersifat sukarela. Seorang kepala sinoman dipilih secara umum,demokrasi,terbuka berdasarkan atas kemampuan kepemimpinan,berjiwa leadership serta dapat memahami persoalan-persoalan dalam masyarakat.
Sinoman Dalam Perubahan Zaman
     Sejalan dengan perkembangan tradisi sinoman dalam masyarakat kampung di Surabaya.Sinoman mengalami pasang surut yang terasa lazim terjadi .Sebagai sebuah perkumpulan yang berisi para pemuda-pemudi ,sinoman tidak terlepas dan terpangaruh sistem perpolitikan. Perkembangan sinoman di Surabaya dipengaruhi oleh situasi sosial ,ekonomi dan politik.Sinoman mengalami kemajuan dan merasa dibutuhkan keberadaannya ketika masyarakat Indonesia (Jawa-Surabaya) mengalami krisis dan ini terjadi pada tahun 1930-an sampai tahun 1960-an . Sekitar tahun 1930-an, sewaktu gerakan toko-toko koperasi muncul di mana-mana, Sinoman pun ikut bergerak dalam kegiatan koperasi konsumsi dan koperasin kredit. Di sini Sinoman menyediakan kebutuhan sehari-hari dan membantu pengusaha kecil dengan kredit dengan bunga rendah.
    Sinoman pada zaman Belanda itu, muncul di kampung-kampung. Antar kampung yang berdekatan mendirikan “Raad Sinoman”. Seperti Raad Sinoman kampung Plampitan, Peneleh, Pandean, jagalan, Undaan, Genteng, Bubutan, Maspati, Kawatan, Koblen, Tembok dan sebagainya. Tidak kurang dari 20 Raad Sinoman waktu itu di Kota Surabaya.Kata “Raad” berasal dari bahasa Belanda, yang artinya: dewan. Waktu itu, masyarakat Belanda di Kota Surabaya mendirikan “Gemeente Raad”, yaitu “Dewan Kotapraja”. Gemeente Raad itu menentukan pajak-pajak yang harus dibayar oleh rakyat di kampung-kampung yang disetorkan ke kantor Gemeente atau Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Nah, agar rakyat Surabaya tidak diperlakukan sewenang-wenang, maka Raad Sinoman dibentuk untuk mengimbangi dan melawan Gemeente Raad.
     Di zaman penjajahan Belanda ini pula, sinoman sempat menjadi “musuh” warga keturunan Cina, karena mereka senang berlindung di balik penguasa. Waktu itu warga pribumi mulai dirangsang dan bangkit untuk merdeka. Kebencian terhadap Belanda, juga menimbulkan antipati terhadap etnis Cina. Warga keturunan ini diasumsikan sebagai warga a-sosial, sosialisasi kerakyatannya lemah dan cenderung tidak mau tahu persoalan yang berkembang di luar diri dan etnisnya. Tidaklah mengherankan, kalau William H.Frederick, melontarkan kalimat “Cina singkek” untuk warga keturunan yang masa bodoh terhadap lingkungan sekitar itu. Konotasinya memang jelek, sehingga dalam hal tertentu sering dijadikan bahan ejekan.
     Di zaman Jepang, Sinoman dipaksa untuk membantu peperangan. Sekalipun dipaksa menjadi “Tonarigumi”, yaitu Rukun Tetangga, namun usaha membela rakyat menghadapi penindasan Jepang terus dikobarkan. Di balik itu ada hikmahnya, karena di zaman Jepan itulah, Sinoman atau “Tonarigumi” dapat mendirikan pos-pos pemadam kebakaran terhadap bom-bom yang jatuh dan menolong korbannya. Hal yang sama juga dialami saat pertempuran 10 November 1945. Karena yang tampil selalu anak-anak muda yang berjuang dan bekerja dengan sukarela, disebutlah kelompok anak muda itu “poro nom-noman”, lalu menjadi “Si Nom-an” atau kumpulan anak muda yang suka bergotong-royong untuk kepentingan bersama.
    Warga Surabaya, ternyata mampu membuktikan ketahanan masyarakatnya membendung dan melakukan antisipasi terhadap gejala global itu. Sinoman mengalami kemajuan dengan adanya peremajaan dan periodesasi kepengurusan. Ini memperlihatkan, bahwa organisasi sinoman sudah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Surabaya.
    Secara organisasi, sinoman dapat menanamkan sendi-sendi berorganisasi. Ini dapat dilihat dengan adanya kesadaran membayar iuran dan sumbangan sukarela pada saat tertentu. Dalam wujud nyata, sinoman yang di zaman pra-kemerdekaan sempat melibatkan diri dalam kegiatan politik, sekarang “sudah bersih” dari pengaruh itu dan murni menjadi paguyuban sosial.
     Semangat sinoman Surabaya tumbuh subur  di Jakarta akibat adanya urbanisasi besar-besaran kedaerah metropolitan tersebut.Sedang kultur masyarakat Surabaya tidak bisa begitu saja hilang ketika mereka telah jauh meninggalkan tempat lahirnya.Sehingga kemudian para perantau yang berasal dari Surabaya ternyata berhasil membentuk paguyuban Sinoman Suroboyo bernama “Sinoman Keluarga Besar Surabaya Jawa Timur”.Hingga pada 1970-an,diciptakanlah lagu berjudul “Sinoman Suroboyo” Lagu dan syair ini adalah karya H.Nur Azhar yang diciptakannya pada bulan Maret 1979 di Jakarta. Inilah lirik dan syair lagu “Sinoman Suroboyo” tersebut:
Sinoman Suroboyo Rek – paguyuban kanggu kepentingan amal ; kumpulanne sing nduweni timbang roso. Tinggalane wong tuwo Rek – ayo kudu diterusno. Sinoman Suroboyo Cak – gotongroyong sing dadi tujuan utomo. Mulane ojo’ lali Cak – iku prilaku sing mulyo, iku kepribadian bongso.
Kaping pisan: tulung tinulung, kaping pindo: ndaweg sing rukun, kaping telu: tambah sedulur, kaping papat: ojo’ sok mbeda’-beda’no. Kabeh mau margo Sinoman – ilingo sing kerepotan – kapan maneh urip ning ndonyo – sing sok ngadoh – mburine tibo nelongso. Pancen apik seneng bergaul – semboyane mangan ndak mangan nek kumpul.
Sinoman Sidomulyo Rek – sing nom-noman jo’ sembrono. Sinoman Margorukun Cak – sing mbegedut musti getun. Sinoman Sidorame Ning – sing emanan isin dewe. Sinoman Sukolilo Wak – abot enteng lakonono.
Demikian lirik, irama yang syahdu dapat membangkitkan semanat persatuan, kesatuan dan guyub untuk bergotongroyong dalam nyanyian berbahasa Jawa dialeg Surabaya itu. 
    Pada tahun 1996 Sinoman Surabaya digunakan untuk sosialisasi politik kepentingan oleh Sunarto ketika ia ingin terpilih lagi menjadi Walikota Surabaya. Pendekatan Budaya yang dilakukan Sunarto sama dengan yang dilakukan pemerintah Jepang ketika negara itu menginginkan dukungan warga masyarakat Kota Surabaya untuk mendukung dan mensukseskan program mobilisasi masa di kota Surabaya pada tahun 1942-1945. Peran penting yang dimainkan Sinoman pada masyarakat kampong di antaranya pada kegiatan sunatan massal, perayaan hari keagamaan, kerja bakti kampung, syukuran hari jadi kampung, konser dan aktivitas social kampong lainnya. Sebaliknya Sinoman mengalami kemunduran aktivitasnya di saat situasi masyarakat kota Surabaya stabil secara social ekonomi. Hal ini terjadi pada tahun 1980-1996 disebabkan munculnya industrialisasi dan urbanisasi yang mengakibatkan munculnya budaya instan dan individual dengan menyerahkan semua urusan pada penyedia jasa yang sebelumnya peran itu dilaksanakan oleh para sinoman kampung.
    Kegiatan Sinoman terus berkembang dan juga berubah. Pola tradisional yang hidup di kampung-kampung dalam Kota , mulai dipengaruhi gaya hidup masyarakat kota Metropolitan. Kegiatan kemasyarakatan yang biasanya menjadi bagian dari kegiatan sinoman yang sepenuhnya bersifat sosial, ada yang sudah beralih menjadi “ajang” bisnis atau sekurang-kurang bernuansakan pamrih.

    Salah satu contoh yang sangat mencolok adalah kegiatan pemakaman. Kalau dulu, setiap orang terpanggil dan berebut untuk menggotong keranda jenazah atau “penduso”, kini banyak yang berpangku-tangan, menyerahkan kegiatan itu kepada perusahaan yang mengurus penguburan. Hal yang sama juga terlihat saat jenazah akan dikuburkan ke liang lahat. Anak-anak dan keluarga terdekat biasanya langsung terjun menunggu jasad almarhum atau almarhumah di dalam lubang kuburan, kini adakalanya dilakukan oleh “orang lain”.Belum lagi yang lebih tragis apabila segala urusan tentang kematian ini diserahkan kepada yayasan penyedia jasa layanan pengurusan jenazah.

Okatsu Nyinom





Tidak ada komentar:

Posting Komentar