Kehidupan masyarakat kampung tanpa pernah disadari oleh banyak peneliti ternyata menyimpan
aktivitas-aktivitas unik yang telah menjadi tradisi. Salah satunya yaitu
Sinoman. Sinoman yang memiliki pengertian sing para nom-noman atau para pemuda yang memiliki tujuan kebersamaan dan kegotong-royongan membantu sesama.Sedangkan dalam kamus Jawa atau “Bausastro Jawi”, karangan WJS Poerwadarminta, kata “Sinom”, artinya: pucuk daun, daun asam muda, bentuk rumah limas yang tinggi dan lancip, nama tambang mocopat,
dan nama bentuk keris. Tetapi, jika kata Sinom mendapat tambahan
akhiran “an”, menjadi “Sinoman”, maka maknanya menjadi: anak muda yang
menjadi peladen di kampung saat acara hajatan, peladen pesta atau
perhelatan, tolong menolong saat mendirikan rumah, kerukunan atau
gotong-royong.Tetapi di balik semua makna itu, terkandung suatu potret
budaya yang amat luhur dan terpuji. Sebab, kegiatan sinoman itu adalah
bekerjasama, bergotong-royong yang dilakukan secara sukarela untuk
kepentingan orang lain dan bersifat komunal.
Istilah sinoman muncul
pertama kali abad 14 di daerah pesisir utara dengan pembatasan daerah
dari Tuban sampai dengan Pasuruan.Kemudian tradisi ini mulai tumbuh di
setiap kampung di surabaya dengan memiliki kegiatan membantu warga yang
tertimpa musibah seperti kematian ataupun warga yang memiliki hajatan
dengan menjadi peladen atau pelayan dan sekaligus meminjamkan
alat-alatnya seperti keranda jenazah, gelas, piring, kursi, meja, tenda
dan sebagainya. Kegiatan lain Sinoman adalah penjagaan keamanan kampung
atau pos ronda, acara keagamaan, peringatan hari kemerdekaan Indonesia,
kursus-kursus peningkatan kapasitas warga kampung di Surabaya.
Wujud dari kegiatan sinoman
ini adalah bentuk kegotongroyongan sosial. Tujuannya untuk membina dan
meningkatkan kerukunan. Semboyannya adalah: “Rukun Anggawe Santoso”
yang berarti rukun untuk menumbuhkan kesentosaan. Kita bisa kuat kalau
kita rukun. Sebaliknya, bangsa yang jiwanya kuat dapat membangun
kerukunan.Dalam bahasa Jawa atau Sansekerta, kuat karena rukun dan rukun
karena kuat, disebut: “Dharma Eva, Hato Hanti”. Kuat karena
bersatu dan bersatu karena kuat. Jadi, motto “bersatu kita teguh,
bercerai kita runtuh, adalah sebuah kenyataan.Dan semua aspek
kerukanan,persatuan dan kegotong-royongan telah terwakili dengan adanya
perkumpulan sinoman tersebut.
Penggeraknya Anak Muda
Sesuai dengan asal-muasal
kata “Sinoman” adalah kumpulan anak muda yang suka bergotongroyong, maka
di sini kegiatan amal dan sosial harus diutamakan. Artinya, kegiatan
sinoman, harus bertujuan untuk membantu sesama dan demi kepentingan
bersama. Kecuali itu, kegiatan sinoman harus mampu menghadapi tantangan
zaman yang serba komersial dan bernuansa bisnis.
Berdasar catatan sejarah yang
ada, sinoman pada awalnya memang sekedar wadah untuk menampung
keinginan sekumpulan anak muda. Mereka ini ingin memperoleh pengakuan
sebagai insan yang dipercaya dalam bidang sosial. Nah, karena kegiatan
gotong-royong merupakan panggilan hati nurani, maka hal ini tidak sulit
untuk diwujudkan. Walaupun demikian, perlu ada pendorong yang mampu
menjadi pelopor sebagai penggerak.Jelas di sini, sinoman sebagai
kegiatan anak muda, maka motor penggeraknya pun harus para pemuda. Sudah
menjadi hukum alam, bahwa kaum muda merupakan tulang punggung penggerak
kegiatan dalam masyarakat. Tidak hanya di bidang sosial dan
rumahtangga, tetapi lebih jauh lagi, yakni sebagai patriot pembela
bangsa dan negara.
Kembali kepada kegiatan
sinoman pada tahun 1930-an saja, kegiatan sinoman sudah
tertata rapi. Mempunyai pengurus tetap dan banyak inventaris.
Barang-barang milik sinoman itu diperoleh dari sumbangan dan bantuan
warga secara sukarela, maupun dibeli dengan uang kas.Jadi dalam hal ini
dapat dipahami bahwa sumber pendanaan organisasi ini adalah murni dari
iuran sukarela para anggotanya.
Sinoman memiliki posisi
sentral dalam kehidupan masyarakat kampung .Seorang kepala sinoman atau
pemimpin sinoman merupakan jabatan yang lebih elite dan prestisius bila
dibandingkan dengan kepala kampong dalam pandangan masyarakat .Sehingga memperoleh jabatan sebagai kepala sinoman merupakan
suatu kebanggaan tersindiri meskipun dalam menjalankan kewajiban
tersebut tidak digaji dan bersifat sukarela. Seorang kepala sinoman
dipilih secara umum,demokrasi,terbuka berdasarkan atas kemampuan
kepemimpinan,berjiwa leadership serta dapat memahami persoalan-persoalan dalam masyarakat.
Sinoman Dalam Perubahan Zaman
Sejalan dengan perkembangan
tradisi sinoman dalam masyarakat kampung di Surabaya.Sinoman mengalami
pasang surut yang terasa lazim terjadi .Sebagai sebuah perkumpulan yang
berisi para pemuda-pemudi ,sinoman tidak terlepas dan terpangaruh sistem
perpolitikan. Perkembangan sinoman di Surabaya dipengaruhi oleh situasi
sosial ,ekonomi dan politik.Sinoman mengalami kemajuan dan merasa
dibutuhkan keberadaannya ketika masyarakat Indonesia (Jawa-Surabaya)
mengalami krisis dan ini terjadi pada tahun 1930-an sampai tahun 1960-an
. Sekitar tahun 1930-an, sewaktu gerakan toko-toko koperasi muncul di
mana-mana, Sinoman pun ikut bergerak dalam kegiatan koperasi konsumsi
dan koperasin kredit. Di sini Sinoman menyediakan kebutuhan sehari-hari
dan membantu pengusaha kecil dengan kredit dengan bunga rendah.
Sinoman pada zaman Belanda itu, muncul di kampung-kampung. Antar kampung yang berdekatan mendirikan “Raad Sinoman”.
Seperti Raad Sinoman kampung Plampitan, Peneleh, Pandean, jagalan,
Undaan, Genteng, Bubutan, Maspati, Kawatan, Koblen, Tembok dan
sebagainya. Tidak kurang dari 20 Raad Sinoman waktu itu di Kota Surabaya.Kata “Raad” berasal dari bahasa Belanda, yang artinya: dewan. Waktu itu, masyarakat Belanda di Kota Surabaya mendirikan “Gemeente Raad”, yaitu “Dewan Kotapraja”. Gemeente Raad itu menentukan pajak-pajak yang harus dibayar oleh rakyat di kampung-kampung yang disetorkan ke kantor Gemeente atau Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Nah, agar rakyat Surabaya tidak diperlakukan sewenang-wenang, maka Raad Sinoman dibentuk untuk mengimbangi dan melawan Gemeente Raad.
Di zaman penjajahan Belanda
ini pula, sinoman sempat menjadi “musuh” warga keturunan Cina, karena
mereka senang berlindung di balik penguasa. Waktu itu warga pribumi
mulai dirangsang dan bangkit untuk merdeka. Kebencian terhadap Belanda,
juga menimbulkan antipati terhadap etnis Cina. Warga keturunan ini
diasumsikan sebagai warga a-sosial, sosialisasi kerakyatannya lemah dan
cenderung tidak mau tahu persoalan yang berkembang di luar diri dan
etnisnya. Tidaklah mengherankan, kalau William H.Frederick, melontarkan
kalimat “Cina singkek” untuk warga keturunan yang masa bodoh
terhadap lingkungan sekitar itu. Konotasinya memang jelek, sehingga
dalam hal tertentu sering dijadikan bahan ejekan.
Di zaman Jepang, Sinoman
dipaksa untuk membantu peperangan. Sekalipun dipaksa menjadi
“Tonarigumi”, yaitu Rukun Tetangga, namun usaha membela rakyat
menghadapi penindasan Jepang terus dikobarkan. Di balik itu ada
hikmahnya, karena di zaman Jepan itulah, Sinoman atau “Tonarigumi”
dapat mendirikan pos-pos pemadam kebakaran terhadap bom-bom yang jatuh
dan menolong korbannya. Hal yang sama juga dialami saat pertempuran 10
November 1945. Karena yang tampil selalu anak-anak muda yang berjuang
dan bekerja dengan sukarela, disebutlah kelompok anak muda itu “poro nom-noman”, lalu menjadi “Si Nom-an” atau kumpulan anak muda yang suka bergotong-royong untuk kepentingan bersama.
Warga Surabaya, ternyata
mampu membuktikan ketahanan masyarakatnya membendung dan melakukan
antisipasi terhadap gejala global itu. Sinoman mengalami kemajuan dengan
adanya peremajaan dan periodesasi kepengurusan. Ini memperlihatkan,
bahwa organisasi sinoman sudah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat
Surabaya.
Secara organisasi, sinoman
dapat menanamkan sendi-sendi berorganisasi. Ini dapat dilihat dengan
adanya kesadaran membayar iuran dan sumbangan sukarela pada saat
tertentu. Dalam wujud nyata, sinoman yang di zaman pra-kemerdekaan
sempat melibatkan diri dalam kegiatan politik, sekarang “sudah bersih”
dari pengaruh itu dan murni menjadi paguyuban sosial.
Semangat sinoman Surabaya
tumbuh subur di Jakarta akibat adanya urbanisasi besar-besaran kedaerah
metropolitan tersebut.Sedang kultur masyarakat Surabaya tidak bisa
begitu saja hilang ketika mereka telah jauh meninggalkan tempat
lahirnya.Sehingga kemudian para perantau yang berasal dari Surabaya
ternyata berhasil membentuk paguyuban Sinoman Suroboyo bernama “Sinoman
Keluarga Besar Surabaya Jawa Timur”.Hingga pada 1970-an,diciptakanlah
lagu berjudul “Sinoman Suroboyo” Lagu dan syair ini adalah karya H.Nur
Azhar yang diciptakannya pada bulan Maret 1979 di Jakarta. Inilah lirik
dan syair lagu “Sinoman Suroboyo” tersebut:
Sinoman Suroboyo Rek – paguyuban
kanggu kepentingan amal ; kumpulanne sing nduweni timbang roso.
Tinggalane wong tuwo Rek – ayo kudu diterusno. Sinoman Suroboyo Cak –
gotongroyong sing dadi tujuan utomo. Mulane ojo’ lali Cak – iku prilaku
sing mulyo, iku kepribadian bongso.
Kaping
pisan: tulung tinulung, kaping pindo: ndaweg sing rukun, kaping telu:
tambah sedulur, kaping papat: ojo’ sok mbeda’-beda’no. Kabeh mau margo
Sinoman – ilingo sing kerepotan – kapan maneh urip ning ndonyo – sing
sok ngadoh – mburine tibo nelongso. Pancen apik seneng bergaul –
semboyane mangan ndak mangan nek kumpul.
Sinoman
Sidomulyo Rek – sing nom-noman jo’ sembrono. Sinoman Margorukun Cak –
sing mbegedut musti getun. Sinoman Sidorame Ning – sing emanan isin
dewe. Sinoman Sukolilo Wak – abot enteng lakonono.
Demikian lirik, irama yang
syahdu dapat membangkitkan semanat persatuan, kesatuan dan guyub untuk
bergotongroyong dalam nyanyian berbahasa Jawa dialeg Surabaya itu.
Pada tahun 1996 Sinoman
Surabaya digunakan untuk sosialisasi politik kepentingan oleh Sunarto
ketika ia ingin terpilih lagi menjadi Walikota Surabaya. Pendekatan
Budaya yang dilakukan Sunarto sama dengan yang dilakukan pemerintah
Jepang ketika negara itu menginginkan dukungan warga masyarakat Kota
Surabaya untuk mendukung dan mensukseskan program mobilisasi masa di
kota Surabaya pada tahun 1942-1945. Peran penting yang dimainkan Sinoman
pada masyarakat kampong di antaranya pada kegiatan sunatan massal,
perayaan hari keagamaan, kerja bakti kampung, syukuran hari jadi
kampung, konser dan aktivitas social kampong lainnya. Sebaliknya Sinoman
mengalami kemunduran aktivitasnya di saat situasi masyarakat kota
Surabaya stabil secara social ekonomi. Hal ini terjadi pada tahun
1980-1996 disebabkan munculnya industrialisasi dan urbanisasi yang
mengakibatkan munculnya budaya instan dan individual dengan menyerahkan
semua urusan pada penyedia jasa yang sebelumnya peran itu dilaksanakan
oleh para sinoman kampung.
Kegiatan Sinoman terus
berkembang dan juga berubah. Pola tradisional yang hidup di
kampung-kampung dalam Kota , mulai dipengaruhi gaya hidup
masyarakat kota Metropolitan. Kegiatan kemasyarakatan yang biasanya
menjadi bagian dari kegiatan sinoman yang sepenuhnya bersifat sosial,
ada yang sudah beralih menjadi “ajang” bisnis atau sekurang-kurang
bernuansakan pamrih.
Salah satu contoh yang
sangat mencolok adalah kegiatan pemakaman. Kalau dulu, setiap orang
terpanggil dan berebut untuk menggotong keranda jenazah atau “penduso”,
kini banyak yang berpangku-tangan, menyerahkan kegiatan itu kepada
perusahaan yang mengurus penguburan. Hal yang sama juga terlihat saat
jenazah akan dikuburkan ke liang lahat. Anak-anak dan keluarga terdekat
biasanya langsung terjun menunggu jasad almarhum atau almarhumah di
dalam lubang kuburan, kini adakalanya dilakukan oleh “orang lain”.Belum
lagi yang lebih tragis apabila segala urusan tentang kematian ini
diserahkan kepada yayasan penyedia jasa layanan pengurusan jenazah.
Okatsu Nyinom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar